Kamis, 31 Oktober 2013

FPI adalah Pahlawan Umat Islam, Menegakkan syariat Islam walaupun banyak fitnah-fitnah keji tentang FPI dari berbagai media massa / elektronik

Oleh Ir. Muhamad Umar Alkatiri
Mantan Napol Kasus Peledakan BCA



Keberadaan FPI dan tindakan anarkis yang melekat padanya adalah sebuah keniscayaan, sesuatu yang sulit ditolak, karena ia lahir dari sebuah sistem yang memang tidak adil.
FPI lahir karena aparat resmi yang seharusnya menjalankan nahimunkar, tidak bekerja sebagaimana mestinya. Malahan, mereka menjadi bagian dari kemungkaran itu sendiri. Seperti, menjadi backing tempat pelacuran, tempat perjudian, dan aneka kemaksiatan lainnya. Ini alasan pertama. Alasan kedua, kualitas kemaksiatan-kemungkaran semakin meningkat, bahkan lebih leluasa dibanding negara paling liberal sekalipun. Indonesia, belasan tahun yang lalu cuma jadi daerah lintasan narkoba, kini bahkan sudah menjadi pabrik terbesar ekstasi dan aneka obat-obatan psikotropika lainnya, tidak hanya untuk kawasan Asia Tenggara.
Di negara liberal, tempat berlangsungnya kegiatan maksiat dibatasi hanya pada lokasi-lokasi tertentu, dan usia pengunjung diawasi ketat. Di Indonesia, di setiap kecamatan (bahkan kelurahan) bisa ditemui tempat maksiat, yang bisa dikunjungi anak-anak usia sekolah setingkat SMP. Begitu juga dengan peredaran VCD porno dan berbagai material pornografi lainnya, dapat diperoleh dengan mudah di setiap pasar atau pertokoan, yang bisa dengan mudah diakses anak-anak di bawah umur, apalagi dengan harga terjangkau (hanya beberapa ribu rupiah saja).

Alasan ketiga, media massa selalu menampilkan sosok FPI yang sedang beraksi dengan kekerasan. Mereka sama sekali tidak pernah menyoroti peristiwa sebelumnya. Yaitu, ketika FPI menulis surat kepada Kapolda atau DPRD dan lain-lain agar suatu tempat maksiat segera ditutup, tidak diberitakan. Begitu juga ketika FPI bernegosiasi dengan pemilik tempat hiburan. Bahkan ketika laskar FPI diserang lebih dulu, media massa tak berminat meliputnya. Barulah ketika FPI membalas, liputan media massa begitu luas, kemudian diikuti oleh berbagai komentar dan caci maki.
Ini jelas tidak adil. Kondisi seperti inilah yang melahirkan ormas seperti FPI. Setuju atau tidak, mau atau tidak mau, FPI akan lahir juga. Artinya, FPI dilahirkan oleh sistem sosial yang diskriminatif. Kalau toh FPI berhasil dibubarkan, maka akan lahir berbagai ‘FPI’ lainnya. FPI dan berbagai ‘FPI’ lainnya akan hilang, bila sistem yang tidak adil juga hilang, aparat resmi yang bertugas menjalankan nahimunkar, berfungsi sebagaimana mestinya.
FPI telah menjadi ‘kebutuhan’ bagi sebagian masyarakat (Islam). Tanyakan hal ini kepada masyarakat jalan Ketapang, Jakarta Pusat. Penduduk jalan Ketapang yang mayoritas Betawi dan Muslim ini, sering jengkel atas arogansi preman Ambon Kristen (beberapa di antaranya Batak Kristen) yang menjadi centeng berbagai tempat hiburan (maksiat) di sekitarnya. Pasca ‘perang terbuka’ antara puluhan laskar FPI dengan sekitar hampir tiga ratus preman centeng itu, yang terjadi di penghujung tahun 1998, kini warga di jalan Ketapang merasa lebih tenang dan bermartabat.
Puluhan laskar FPI yang jumlahnya tidak seimbang dengan ratusan preman centeng kala itu, berhasil menewaskan sekitar 15 orang preman penjaga tempat maksiat. Dari peristiwa Ketapang ini telah menjadi pemicu terjadinya tragedi pembantaian terhadap umat Islam di Ambon sejak Januari 1999. Preman Ambon Kristen yang terdesak di Ketapang lari pulang kampung dan mengobarkan perang ‘saudara’ di sana. Bersamaan dengan itu, sejak Desember 1998, terjadi kasus Poso, yang intinya pembantaian terhadap umat Islam juga.


Pada kasus Poso  dan Ambon , yang memulai tragedi adalah umat Kristen, namun jusru umat Islam-lah yang dituding membantai umat Kristen. Media massa nasional dan internasional memposisikan umat Islam yang mayoritas membantai umat Kristen yang minoritas. Padahal, yang terjadi kebalikannya, yaitu anarki minoritas terhadap mayoritas.
Dari kondisi seperti ini, yang dibutuhkan umat Islam bukan cuma FPI tetapi juga Laskar Jihad, Laskar MMI dan JI (Jamaah Islamiyah). Sebab, pemerintah dan aparat penegak hukum kurang memihak kepada umat Islam.
Umat Islam disuruh berdamai, padahal biang terjadinya konflik horizontal ini adalah umat Kristen. Bahkan korban terbanyak dari kasus Ambon dan Poso adalah umat Islam. Bagaimana mungkin pihak yang terzalimi diminta menahan diri?


Belum sembuh luka-luka umat Islam akibat pembantaian umat Kristen pada Kasus Poso (sejak Desember 1998  ) dan Ambon (sejak januari 1999), ternyata luka itu tergores lagi melalui sikap umat Kristen dan umat non Muslim lainnya yang tanpa dasar yang jelas menolak RUU APP bersama-sama dengan para fundamentalis sekuler dan kaum sepilis. Begitu juga dengan sikap umat Kristen yang menolak Perda syariah. Ini jelas bagian dari provokasi umat Kristen tehadap umat Islam. Namun yang disalahkan justru umat Islam.
Boleh jadi, kasus Bom Malam Natal 2000, adalah puncak kemarahan umat Islam yang diwakili fundamentalis JI (Jama’ah Islamiyah), sebagai reaksi atas terjadinya kasus Poso dan Ambon, yang intinya merupakan praktek muslim cleansing terencana di dua daerah tersebut. Namun umat Kristen tidak juga mawas diri, mereka terus dengan sikap pongahnya menantang umat Islam.
Terbukti, kini mereka ikut-ikutan menentang pembubaran Ahmadiyah. Padahal, kasus Ahmadiyah adalah murni kasus pelanggaran akidah umat Islam, tidak ada hubungannya dengan akidah umat Kristen dan umat non Muslim lainnya.
Kalau Indonesia mau damai,
Pertama, jangan hanya mencari kambing hitam, menyalahkan FPI, MMI, HTI, JI, dan sebagainya yang dituding sebagai Islam garis keras, Islam fundamentalis. Tapi pemerintah harus bisa menampung aspirasi umat Islam. Memang umat Islam yang mayoritas (silent majority) tidak banyak bersuara sebagaimana minoritas nyaring yang didukung berbagai media massa. Namun boleh jadi, mereka merasa terbela dengan adanya kalangan Islam fundamentalis. Buktinya, polling pembubaran FPI yang dilakukan beberapa pihak antara lain SCTV, menunjukkan hasil yang tak terduga: suara mereka yang menolak FPI dibubarkan lebih besar dari yang setuju.
Kedua, umat non Muslim jangan memulai tragedi berdarah seperti di Poso dan Ambon. Namun kalau sudah berani memulai pertikian, maka harus konsekuen menerima segala resiko yang timbul. Jangan pula menantang-nantang umat Islam dengan kedok kebangsaan, kebebasan beragama dan berkeyakinan, seta kebhinekaan dan pluralisme. Umat Islam sangat tahu, bahwa itu semua hanya kedok untuk menutupi hajat memerangi Islam. Naluri memerangi Islam yang ada di dalam diri umat non Islam harus dibuang jauh-jauh. Sebab umat Islam tidak akan pernah takut dengan tantangan umat non Islam.
Masalahnya, umat Islam seringkali berada dalam situasi dilematis. Didiamkan saja, tambah ngelunjak. Kalau disikapi dengan santun, mereka tidak juga mau berhenti menantang-nantang, bahkan terus memprovokasi. Sehingga ketika ilalang kering sudah terbakar, maka yang terjadi adalah anarki. Kalau sudah begini, maka media massa nasional dan internasional pun menjadikannya bahan publikasi memojokkan Islam.
Ketiga, media massa juga jangan menjadi sumber provokasi. Selain harus bersikap profesional dan memenuhi etika jurnalistik, media massa juga jangan sok tahu dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama. Kasus pemuatan foto Munarman mencekik anggotanya sendiri, yang oleh Koran Tempo ditulis mencekik anggota AKKBB, menunjukkan bahwa profesionalitas Koran Tempo masih rendah. Bambang Harimurty dan Goenawan Mohamad terbukti tidak profesional, bahkan terkesan emosional.
Provokasi media massa seperti Koran Tempo, Majalah Tempo, Kompas, Media Indonesia, Jawa Pos, Indo Pos, Rakyat Merdeka, Sinar Harapan, Suara Pembaruan dan Seputar Indonesia, yang gemar memuat pemikiran-pemikiran kalangan liberal, sebaiknya dihindari sama sekali. Sejak tahun 1970-an Majalah Tempo, Kompas dan Sinar Harapan sudah menjajakan pemikiran-pemikiran liberal, tentu dengan harapan akan tumbuh budaya pemikiran Islam yang pluralis, sehingga kondusif membangun kedamaian. Kenyataannnya, meski sudah bermilyar kata ditulis Cak Nur dan Gus Dur, konflik horizontal tetap saja terjadi.
Karena, akar masalahnya bukan di situ. Penyebab konflik horizontal bukan karena adanya pemikiran ke-Islam-an yang tekstual, puritan atau fundamentalistis, tetapi karena adanya ketidak adilan yang sudah berlangsung sejak awal kemerdekaan. Jadi media massa jangan sok tahu dengan diagnosanya yang keliru.
Keempat, pemerintah juga harus tegas dan adil, bila kekerasan fisik sebagaimana dilakukan FPI dan Laskar Islam bisa menyebabkan komandannya masuk penjara, maka kekerasan berkedok intelektual juga harus diproses secara hukum. Gus Dur amat sangat sering melakukan kekerasan seperti ini. Begitu juga dengan Syafii Maarif di harian Republika. Kalau Habib Rizieq dan Munarman diproses secara hukum, maka mereka yang namanya tercantum di dalam petisi AKKBB sebagaimana dimuat berbagai media massa, harus juga diproses secara hukum.
Kalau pemerintah tetap saja membiarkan AKKBB bebas dari proses hukum, padahal mereka menjadi penyebab konflik horizontal, ini sama saja dengan menyuburkan potensi radikalisme, anarkisme, fundamentalisme di kalangan masyarakat yang sudah geram.
FPI tidak akan punah selama kondisi yang memungkinkannya eksis tetap terjaga. Pemerintah bisa membubarkan FPI, namun ‘FPI’ lainnya akan lahir menggantikan. Pemerintah bisa saja mengeliminasi Habib Rizieq atau Baasyir, namun dalam waktu amat singkat akan lahir Rizieq dan Baasyir yang baru.
Yang harus dilakukan pemerintah adalah bersikap tegas. Bubarkan Ahmadiyah, bubarkan JIL, dan aneka kesesatan lainnya. Juga, suruh umat non Islam tutup mulut dan jangan ikut campur persoalan umat Islam. Selama ini mereka terbukti selalu mencari gara-gara, menantang perang dan memprovokasi. Mereka tidak toleran.
Dari insiden Monas, pemerintah seharusnya menjadikan peristiwa itu sebagai pelajaran berharga. Jangan sampai terulang lagi. Kalau yang marah hanya FPI, masih mending, paling yang mereka bawa cuma pentungan. Coba, kalau yang marah dari kalangan JI (Jamaah Islamiyah), berapa banyak lagi kasus peledakan akan terjadi?
FPI adalah organisasi tanpa badan hukum yang lahir spontan. Mereka yang ikut mendeklarasikan FPI hampir seratus persen adalah orang-orang yang tidak punya pengalaman berorganisasi. Bahkan ketika dideklarasikan, para pencetusnya tidak pernah berfikir akan punya cabang di berbagai daerah. Kenyataannya, cabang-cabang FPI tumbuh di berbagai daerah.
Ini artinya FPI memang dibutuhkan. Kebutuhan itu dilahirkan oleh sikap pemerintah dan aparat hukum yang berat sebelah, juga akibat sikap kalangan Kristen yang arogan dan mau menang sendiri. Kebutuhan itu juga dilahirkan oleh media massa yang hampir seluruhnya dimiliki fundamentalis sekuler yang anti agama, namun sok tahu dengan agama, dengan mempublikasikan pemikiran-pemikiran ‘progresif’ yang sesungguhnya menawarkan kesesatan bukan kedamaian.
Salah seorang deklarator FPI Habib Rizieq pernah mengatakan, “Kalau semua petani menanam padi dan tak ada yang memberantas hama, maka bersiaplah menerima panen yang gagal. Kalau semua petani memberantas hama dan tak ada yang menanam padi maka bersiaplah tidak makan. Kedua pekerjaan itu harus dilakukan secara harmonis. Demikian juga amar ma’ruf dan nahi munkar, keduanya harus ada yang melakukan. Karena itu harus ada rakyat yang bekerja untuk membangun negeri dan harus ada polisi yang menjaga keamanan rakyat. Dan sebagai negara dengan mayoritas Islam maka di Indonesia harus ada pula umat Islam yang menjaga keamanan agama Islam. Untuk itulah FPI didirikan. Semoga ini menjadi pembagian tugas harmonis yang saling menguatkan.
Pernyataan Rizieq bukan tanpa alasan. Aparat penegak hukum tak berbuat semestinya ketika ada yang melecehkan Islam. Misalnya, kasus pelecehan yang dilakukan Gus Dur, yang pernah mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci paling porno. Ketika itu, sekitar pertengahan Juni 2006, gabungan ulama Madura, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta bersama dengan beberapa pimpinan ormas Islam, mendatangi Mabes Polri di Jakarta, mengadukan Gus Dur kepada Kepolisian terkait dengan penodaan terhadap Al-Quran. Namun, Gus Dur tidak pernah dimasukkan ke dalam sel karena pelecehannya itu, meski sejumlah ulama sudah melaporkannya.
Masih banyak ucapan dan perbuatan orang-orang sealiran Gus Dur yang gemar memprovokasi dan melecehkan agama Islam. Tapi, nyaris tak terjerat hukum. Syafii Maarif di Republika berkali-kali menulis dengan nada menyindir dan melecehkan, bahkan Maarif pernah menggunakan istilah preman berjubah untuk menyerang lawan ideologisnya. Maarif juga pernah menelikung pemikiran buya HAMKA ketika ia membahas soal tafsir buya HAMKA terhadap surat Al-Baqarah ayat 62 dan surat Al-Maidah ayat 69 (harian Republika, rubrik Resonansi, Selasa, 21 Nopember 2006).
Ini sangat aneh. Maarif yang mantan Ketua PP Muhamadiyah lebih condong membela kekafiran berfikir, dan hal itu difasilitasi oleh harian Republika yang katanya koran umat Islam. Bila Maarif dilaporkan ke polisi, ia tidak bisa dijerat hukum. Lalu ke mana kegeraman umat Islam itu dapat disalurkan? Barangkali, FPI telah menjadi pilihan sebagai salah satu salurannya.
Kalau Republika saja berani memfasilitasi tulisan-tulisan yang seperti itu, apalagi harian Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Majalah Tempo, Seputar Indonesia, Rakyat Merdeka, Indopos, Jawa Pos, dan sejumlah koran lainnya yang masih satu group dengan Kompas dan Jawa Pos.

Demikian halnya ketika aspirasi umat Islam meminta Ahmadiyah dibubarkan mereka juga menentang.
Apa yang menjadi pendirian media massa itu jelas sebuah provokasi. Apalagi ditambah dengan provokasi sejumlah orang yang berpaham sepilis, seperti Syafii Anwar (ICIP), Ahmad Suaedy (The Wahid Institute), Guntur Romly (JIL) yang pernah mewawancarai Gus Dur, dan menghasilkan pelecehan berupa pernyataan “Al-Qur’an merupakan kitab suci paling porno” yang disampaikan Gus Dur, sebagaimana pernah dipublikasikan pada situs JIL.
Ketiga nama di atas, tercantum di dalam petisi AKKBB yang dimuat berbagai media. Dan… Subhanallah, Allahu Akbar…, ketiganya ternyata menjadi korban kekerasan yang dilakukan massa Laskar Islam.
Padahal, saya yakin massa Laskar Islam (yang di dalamnya terdapat laskar FPI) sama sekali tidak tahu siapa yang mereka pukuli itu.
Mereka tidak kenal wajah Syafii Anwar yang membela Ahmadiyah melalui berbagai wawancara dan tulisannya. Mereka tidak kenal wajah Ahmad Suaedy dari The Wahid Institute yang tulisannya amat sangat membela Ahmadiyah dan aliran sesat lainnya. Mereka juga tidak kenal Guntur Romli aktivis JIL yang produktif menelurkan tulisan-tulisan penyesatan. Dari ketiga nama tadi, Guntur Romli yang paling parah, sehingga hampir seluruh wajahnya berbalut perban.
Untung saja, Gus Dur dan Dawam Raharjo tidak hadir di Monas 01 Juni 2008 lalu. Kalau saja mereka hadir, entahlah apa yang akan terjadi. Mungkin lebih parah dari Guntur Romli. Logikanya, Guntur Romli saja yang tidak dikenal massa sudah sedemikian bonyok, apalagi Gus Dur dan Dawam Raharjo?
Salah satu tulisan Ahmad Suaedy di situs The Wahid Institute berjudul Kasus Ahmadiyah dan Problematika Kebangsaan di Indonesia, ia membahas (membela) Ahmadiyah dengan alasan yang tidak ada kaitannya dengan akidah. Seolah-olah para penolak Ahmadiyah itu adalah orang-orang yang menganut Wahhabi dan takut tersaingi oleh Ahmadiyah. Dua alinea tulisan Suaedy sebagai berikut:

Pasang naiknya penyerangan dan kekerasan terhadap Ahmadiyah dan juga aliran-aliran Islam tertentu, tampaknya tidak terpisah dari perkembangan internasional, yaitu kian eratnya hubungan kelompok-kelompok Islam tertentu dengan negara-negara yang dominan di dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Sebagaimana diketahui umum, OKI didominasi negara-negara kaya minyak di Timur Tengah yang memiliki kepentingan menyebarkan Islam sesuai dengan cara pandang mereka, yang pada umumnya Wahabi, ke seluruh dunia.
Mereka juga berambisi untuk menjadi representasi dunia Islam dibanding wilayah lain dan kelompok Islam lain manapun. Ahmadiyah adalah salah satu aliran Islam yang memiliki kepemimpinan (Amir) dunia yang berkedudukan di London. Struktur organisasi internasional yang kuat dan kepercayaan belahan dunia kepada Ahmadiyah yang cukup meyakinkan, menjadikan negara-negara dominan di dalam OKI kuatir. Mereka berupaya keras menindas aliran Islam yang menjadi pesaing mereka, terutama secara internasional.

Bukan cuma Ahmad Suaedy yang membela Ahmadiyah dengan landasan yang tidak jelas. Ada juga tulisan Imam Ghazali Said dengan judul Membela Ahmadiyah yang Dizalimi : GAI dan JAI, setelah saya melakukan studi terhadap kitab Tadzkirah, testimoni, interogasi, dan dialog dengan para tokoh dan kaum awam pengikut JAI, ternyata mereka tidak keluar dari kriteria muslim dan mukmin di atas. Karena itu, saya konsisten mengikuti nurani dan kajian ilmiah untuk “Membela JAI” tanpa mempertimbangkan akan dibenci kelompok muslim yang menyesatkan Ahmadiyah atau tidak.” (Jawa Pos, Senin, 28 Apr 2008  )
Namun sampai kini, publik tidak pernah membaca kajian ilmiah karya Imam Ghazali Said yang dijadikan landasan membela Ahmadiyah. Apakah kajian ilmiahnya itu reliable, valid atau tidak, kita tidak tahu. Kita juga tidak tahu, apakah dia mempunyai kompetensi dan kualifikasi untuk melakukan kajian ilmiah terhadap Ahmadiyah?
Kalau kajian ilmiahnya memang benar ada, silakan disajikan ke publik, kemudian dibandingkan dengan hasil pemantauan Bakor Pakem yang dikeluarkan 16 April 2008 lalu. Bandingkan juga dengan hasil temuan fakta-fakta kebohongan Ahmadiyah yang ada di LPPI. Berani?
Harian Kompas dan sebagainya, memang sudah bisa dipastikan akan selalu memposisikan diri menentang aspirasi umat Islam, dan cenderung membela kekafiran sebagaimana dijajakan kaum sepilis. Jangankan Kompas, harian Seputar Indonesia yang baru memasuki tahun ketiga saja, sudah berani memprovokasi dengan menampilkan tulisan penganut sepilis di hariannya itu. Antara lain, Ayu Utami yang mengisi kolom tetap bertajuk Kodok Ngorek, di halaman 13 Seputar Indonesia Minggu.
Sebagai contoh, kita ambil tiga tulisan Ayu Utami di harian Seputar Indonesia Minggu, beberapa saat sebelum ia cuti melahirkan. Yaitu, edisi 20 April 2008, edisi 27 April 2008 dan edisi 4 Mei 2008.


Pada edisi 20 April 2008, Ayu Utami memberi judul tulisannya dengan hal-hal yang berbau agama, yaituSekte Poligami”. Padahal, yang dilaporkannya adalah sebuah sekte yang menganut paham seks bebas, dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan poligami yang dikenal umat Islam. Yaitu, Commune Friedrichshof yang didirikan oleh Otto Muhl di tahun 1972 (di Austria), dan sekte Yearning for Zion yang saat ini sedang populer di Texas.
Mengapa Ayu Utami yang nggak ngerti agama, dan mungkin anti agama ini, menggunakan istilah-istilah yang berbau agama (poligami) untuk sebuah tulisan yang isinya tidak ada kaitan dengan agama? Mengkaitkan istilah poligami dengan seks bebas ala binatang seperti dilakoni kedua sekte tadi, jelas sebuah pelecehan terhadap agama dan umat Islam.
Lebih jauh, di akhir tulisannya yang melecehkan istilah poligami itu, Ayu Utami tampak membela Ahmadiyah. Perlu diketahui, nama Ayu Utami ini termasuk berbanjar di iklan petisi AKKBB yang dipublikasikan media massa.
Dari semangatnya memilih istilah poligami untuk ditubrukkan dengan sekte seks bebas ala binatang, maka kita bisa menarik kesimpulan, Ayu Utama anti poligami, membenci poligami, dan sebagainya.
Semangat anti poligaminya itu juga terasa ketika ia menulis di harian yang sama, edisi 27 April 2008, dengan judul Ibu Kita. Isinya, menggambarkan sikap teguh ibunda Chairil Anwar (sastrawan Angkatan 45) yang rela memilih kehidupan yang tak pasti karena sang suami menikah lagi.
Semakin terasa lagi, ketika Ayu Utami menorehkan penanya untuk menyusun tulisan berjudul Adopsi, di harian yang sama, edisi 4 Mei 2008. Isinya sebenarnya cukup mulia, ia menawarkan alternatif, bagi mereka yang gemar punya anak banyak, mengapa tidak ditempuh dengan jalan adopsi.
Tapi, Ayu Utami tidak sekedar menawarkan gagasannya yang mulia itu, ia juga mengambil contoh sambil menyindir (bahkan terkesan melecehkan):
… Ada pula –nah, yang ini bukan teman– yang dengan sengaja beristri banyak dan beranak sangat banyak. Seperti Tuan F dari suatu “organisasi”, yang tujuannya mau mengalahkan iblis dunia, Amerika Serikat. Tuan F ini, agaknya setiap kali bersetubuh membayangkan akan menaklukkan AS. Ada nalar juga kepada Tuan F ini (bukan dengan bintang tiga F***, melainkan empat). Soalnya, dari urutan populasi terbanyak dunia, Indonesia nomor 4, sementara AS nomor 3.
Siapa yang dimaksud Ayu Utami dengan Tuan F tadi? Tak lain adalah Fauzan Al-Anshari, sedangkan “organisasi” yang dimaksudnya adalah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Fauzan Al-Anshari, pria kelahiran Yogyakarta, 2 September 1966 ini memang beristri empat. Sedangkan jumlah anaknya mencapai 20 orang lebih. Ia tinggal di Jatinegara Timur III No. 26 Jakarta Timur 13350 (Tel./Fax : 021-8517718, HP 0811 100 138).
Apa kepentingan Ayu Utami dengan nada miring menjadikan Fauzan sebagai ilustrasi (negatif) tulisannya yang membela ledakan penduduk? Kalau Ayu Utami benar-benar mengerti kebebasan berekspresi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, mengapa pula ia harus ‘risih’ dan ‘repot’ dengan pendirian orang lain yang beristri banyak dan beranak banyak? Apalagi, Ayu Utami sampai menuliskan sederet kalimat yang tergolong sarkas: “…Tuan F ini, agaknya setiap kali bersetubuh membayangkan akan menaklukkan AS.”
Ternyata, kebebasan berekspresi dan berpendapat yang diterapkan Ayu Utami adalah termasuk bebas mengejek orang lain yang tidak sepaham dengannya. Dari sini saja, kita sudah bisa simpulkan, bahwa mereka yang mengusung tema kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, kebebasan beragama dan berkeyakinan itu, ternyata adalah orang-orang yang tidak bisa menerima pendirian orang lain yang berbeda dengan mereka. Mereka ingin setiap orang sama satu selera dengan mereka. Bila tidak sama, maka orang itu akan diolok-olok dengan berbagai istilah. Siapa yang sebenarnya tidak toleran dan kekanak-kanakan?
Kalau ejekan, olok-olok, dan provokasi itu dibalas dengan pukulan dan pentungan ala FPI apakah ini adil? Jelas adil, karena kekerasan dibalas dengan kekerasan juga. Maksudnya, kekerasan (intelektual) dibalas dengan kekerasan (fisik).
Cobalah sekali-kali anda buat tulisan yang mengolok-olok, mengejek dan memprovokasi Mike Tyson dengan pena anda. Kemudian ketika Tyson marah, berikan jawaban, “Mike, you punya hak jawab. Bikinlah tulisan yang membantah hal itu.” Apakah Tyson akan menulis sanggahan? Belum tentu. Yang pasti dia akan menghampiri anda dan menyarangkan pukulannya ke wajah anda hingga bonyok. Soalnya, Mike Tyson khan nggak bisa nulis. Tentu sangat tidak fair orang yang tidak bisa nulis –cuma bisa nonjok– disuruh nulis. Ya khan?
Kalau saja Mike Tyson itu adalah warga negara Indonesia, boleh jadi dia akan bergabung ke dalam laskar FPI atau Laskar Islam pimpinan Munarman. Kalau itu terjadi, kita harus menerima hal itu sebagai sebuah keniscayaan.

Sumber : dymas wordpress

Tidak ada komentar: