Selasa, 23 September 2014

Istilah-Istilah di Property




Mungkin ada baiknya mengenal beberapa istilah di dunia property

1. Primary = rumah baru, atau penjualan hasil pengembangan  
                   lahan
2. Secondary = rumah second
3. Owner = pemilik rumah
4. Buyer = pembeli
5. Broker = agen property
6. PPJB/SPJB = surat pengikatan jual beli (perjanjian awal    sebelum melakukan jual beli)
7. SHM = sertifikat hak milik
8. Surat Girik/letter C = Surat keterangan kepemilikan tanah/ bangunan dari camat atau lurah
9. Co-broking = kerjasama penjualan rumah antara 2 agen atau   lebih
10. Top-up = Meningkatkan plafon kredit pinjaman
11. Cash back = Mendapatkan lebih dari pengajuan plafon kredit
12. AJB = Akte jual beli, bukti transaksi jual beli property yang dibuat oleh notaris (cari notaris yang juga PPAT)
13. HGB = hak guna bangunan, artinya tanah merupakan milik pemerintah dan hanya boleh digunakan dalam kurun waktu tertentu dalam kisaran 20/30/40 tahun.
14. Hak sewa = Tanah milik pemerintah dan harus bayar sewa setiap tahun
15. NJOP = Nilai jual obyek pajak, biasanyah menjadi acuan harga jual rumah (walaupun kini bank kebanyakan mengambil dari nilai pasar

Selasa, 09 September 2014

Pembelaan Hukum / Alasan Penghapusan Pidana


Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada para pelaku atau terdakwa yang diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak pidana. Alasan-alasan tersebut dinamakan alasan penghapus pidana.

Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan dalam keadaan apa seorang pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik yang seharusnya dipidana, tidak dipidana. Hakim menempatkan wewenang dari pembuat undang-undang untuk menentukan apakah telah terdapat keadaan khusus seperti dirumuskan dalam alasan penghapus pidana.

Alasan-alasan penghapus pidana ini adalah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik, tetapi tidak dipidana. Berbeda halnya dengan alasan yang dapat menghapuskan penuntutan, alasan penghapus pidana diputuskan oleh hakim dengan menyatakan bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan hapus atau kesalahan pembuat hapus, karena adanya ketentuan undang-undang dan hukum yang membenarkan perbuatan atau yang memaafkan pembuat.

Jadi dalam hal ini hak melakukan penuntutan dari Jaksa tetap ada, tidak hilang, namun terdakwanya yang tidak dijatuhi pidana oleh hakim. Dengan kata lain undang-undang tidak melarang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan tersangka pelaku tindak pidana ke sidang pengadilan dalam hal adanya alasan penghapus pidana. Oleh karena Hakimlah yang menentukan apakah alasan penghapus pidana itu dapat diterapkan kepada tersangka pelaku tindak pidana melalui vonisnya. Sedangkan dalam alasan penghapus penuntutan, undang-undang melarang sejak awal Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan/menuntut tersangka pelaku tindak pidana ke sidang pengadilan. Dalam hal ini tidak diperlukan adanya pembuktian tentang kesalahan pelaku atau tentang terjadinya perbuatan pidana tersebut (Hakim tidak perlu memeriksa tentang pokok perkaranya). Oleh karena dalam putusan bebas atau putusan lepas, pokok perkaranya sudah diperiksa oleh hakim, maka putusan itu tunduk pada ketentuan Pasal 76 KUHP.

Meskipun KUHP yang sekarang ini ada mengatur tentang alasan penghapus pidana, akan tetapi KUHP sendiri tidak memberikan pengertian yang jelas tentang alasan penghapus pidana tersebut. Pengertiannya hanya dapat ditelusuri melalui sejarah pembentukan KUHP (WvS Belanda).

Dasar atau alasan penghapusan pidana secara umum dibedakan menjadi dua jenis, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf.

Dalam beberapa literatur hukum pidana, dapat dilihat tentang pengertian dari alasan pembenar dan alasan pemaaf serta perbedaanya, salah satunya dalam buku Roeslan Saleh (1983:125) bahwa :

Apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik disebabkan karena hal-hal yang mengakibatkan tidak adanya sifat melawan hukumnya perbuatan, maka dikatakanlah hal-hal tersebut sebagai alasan-alasan pembenar. Perbuatan yang pada umumnya dipandang sebagai perbuatan yang keliru, dalam kejadian yang tertentu itu dipandang sebagai perbuatan yang dibenarkan, bukanlah perbuatan yang keliru.

Sebaliknya apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik disebabkan karena tidak sepantasnya orang itu dicela, tidak sepatutnya dia disalahkan, maka hal-hal yang menyebabkan dia tidak sepantasnya dicela itu disebut sebagai hal-hal yang dapat memaafkannya. Juga dipendeki dengan alasan-alasan pemaaf.

Alasan penghapus pidana ini dapat digunakan untuk menghapuskan pidana bagi pelaku/pembuat (orangnya sebagai subjek), dan dapat digunakan untuk menghapuskan pidana dari suatu perbuatan/tingkah laku (sebagi objeknya). Dalam hal inilah alasan penghapus pidana itu dapat dibedakan antara, tidak dapat dipidananya pelaku/pembuat dengan tidak dapat dipidananya perbuatan/tindakan.

Dalam ajaran alasan penghapusan pidana, terdapat tiga asas yang sangat penting (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, 2007 : 57), yaitu :
  1. Asas Subsidiaritas;
Ada benturan antara kepentingan hukum dengan kepentingan hukum, kepentingan hukum dan kewajiban huku, kewajiban hukum dan kewajiban hukum.

     2. Asas Proporsionalitas;
Ada keseimbangan antara kepentingan hukum yang dibela atau kewajiban hukum yang dilakukan.

     3. Asas “culpa in causa”.
Pertanggungjawaban pidana bagi orang yang sejak semula mengambil risiko bahwa dia akan melakukan perbuatan pidana.1.     

1. Jenis-jenis alasan pembenar
Alasan penghapus pidana yang termasuk alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP adalah :
  1. Keadaan darurat, diatur dala Pasal 48 KUHP;
Seseorang dikatakan berada dalam keadaan darurat (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, 2007 : 60) “apabila seseorang dihadapkan pada suatu dilema untuk memilih antara melakukan delik atau merusak kepentingan yang lebih besar”.
Dalam keadaan darurat pelaku suatu tindak pidana terdorong oleh suatu paksaan dari luar, paksaan tersebut yang menyebabkan pelaku dihadapkan pada tiga keadaan darurat, yaitu Perbenturan antara dua kepentingan hukum. Dalam hal ini pelaku harus melakukan suatu perbuatan untuk melindungi kepentingan hukum tertentu, namun pada saat yang sama melanggar kepentingan hukum yang lain, begitu pula sebaliknya Perbenturan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum. Dalam hal ini pelaku dihadapkan pada keadaan apakah harus melindungi kepentingan hukum atau melaksanakan kewajiban hukum Perbenturan antara kewajiban hukum dan kewajiban hukum. Dalam hal ini pelaku harus melakukan kewajiban hukum tertentu, namun pada saat yang sama dia tidak melakukan kewajiban hukum yang lain, begitu pula sebaliknya.

Dalam keadaan darurat tersebut di atas, tindak pidana yang dilakukan hanya dibenarkan jika (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, 2007 : 61) ;
  1. tidak ada jalan lain;
  2. kepentingan yang dilindungi secara objektif bernilai lebih tinggi dari pada kepentingan yang dikorbankan.
Contohnya ; seseorang terjun ke dalam sungai untuk menolong seorang anak kecil yang terhanyut, sementara di sungai tersebut terdapat tulisan dilarang berenang.

2. Pembelaan terpaksa, diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP;
Menurut Pasal 49 ayat (1) disyaratkan hal-hal yang bisa dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, 2007 : 55), yaitu :
  1. Ada serangan mendadak atau seketika itu terhadap raga, kehormatan, kesusilaan atau harta benda;
  2. Serangan itu bersifat melawan hukum;
  3. Pembelaan merupakan keharusan;
  4. Cara pembelaan adalah patut.
3.  Melaksanakan ketentuan undang-undang, diatur dalam Pasal 50 KUHP;
Dalam hal ini, terdapat hal dimana ada perbenturan antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum lainnya, artinya bahwa untuk melakukan kewajiban hukumnya, seseorang harus melanggar kewajiban hukum lainnya. Dalam melaksanakan ketentuan UU tersebut, kewajiban yang terbesar yang harus diutamakan.

Contohnya; seorang juru sita yang mengosongkan sebuah rumah dengan menaruh isi rumah dijalan, dimana pada dasarnya menyimpan prabot di jalan adalah dilarang, namun karena ketentuan dari pengadilan atau putusan pengadilan, sehingga perbuatannya tersebut tidak dapa dipidana.

4. Menjalankan perintah jabatan yang sah, diatur dalam Pasal 51 KUHP.

2.      Jenis-jenis alasan pemaaf
Alasan penghapus pidana yang termasuk alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP adalah :
  1. Tidak mampu bertanggungjawab, diatur dalam Pasal 44 KUHP;
Dalam Pasal 44 KUHP, membedakan pertanggungjawaban dalam dua kategori yaitu cacat dalam pertumbuhan dan gangguan penyakit kejiwaan.
Yang dimaksud gangguan adalah gangguan sejak lahir atau sejak remaja tumbuh dengan normal namun dikemudian hari muncul kelainan jiwa.
Pada dasarnya cacat atau gangguan penyakit muncul pada saat perbuatan atau tindak pidana, dan ketika perbuatan itu dilakukan ada hubungan antara gangguan jiwanya dengan perbuatannya
2. Daya paksa, diatur dalam Pasal 48 KUHP;
Dalam memori penjelasan Pasal 48 KUHP (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, 2007 : 61), daya paksa adalah “setiap daya, setiap dorongan, atau setiap paksaan yang tidak dapat dilawan”.
Contoh : sebuah kapal tenggelam, ada dua penumpang yang berpegang pada papan yang sama, dimana papan tersebut hanya kuat menahan 1 orang. Karena takut akan mati tenggelam, maka salah seorang mendorong yang lainnya.
Titik tolak dari daya paksa adalah adanya keadaan-keadaan yang eksepsional yang secara mendadak menyerang pembuat atau pelaku, bukan ketegangan psikis, melainkan keharusan melakukan perbuatan pidana untuk mencapai tujuan yang adil.
Dalam daya paksa ini, ada perbenturan antara kepentigan hukum satu dengan kepentingan hukum lain, dimana kepentingan yang dilindungi harus mempunyai nilai kebih tinggi daripada kepentingan hukum yang diabaikan.
3. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP.
Dalam pembelaan terpaksa, ada dua hal yang harus diperhatikan (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, 2007 : 59). Yaitu :
  • Harus ada situasi pembelaan terpaksa, yang berarti suatu situasi dimana pembelaan raga, kehormatan kesusilaan, atau harta  benda terhadap serangan seketika bersifat melawan hukum menjadi keharusan.
Kalau orang dapat menghindarkan diri dari serangan, pembelaan tidak menjadi keharusan sehingga bantahan atas dasar pembelaan terpaksa, harus ditolak. Demikian juga bantahan tidak akan berhasil. Bantahan tersebut hanya berhasil kalau pembelanya sendiri merupakan keharusan.
  • Pelampauan batas dari keharusan pembelaan, harus merupakan akibat langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat, yang pada gilirannya disebabkan oleh serangan. “kegoncangan jiwa yang hebat” dapat mencakup berbagai jenis emosi, yaitu takut, marah, dan panik. Kebencian yang sudah ada terlebih dahulu yang tidak disebabkan oleh serangan, tidak dapat dipakai untuk memaafkan. Selain itu, juga kalau kegoncangan jiwa yang hebat itu tidak disebabkan oleh serangan, tetapi karena pengaruh alkohol atau narkoba. 
  • sumber:
  • http://materihukum.wordpress.com/2013/11/04/alasan-penghapusan-pidana/