Oleh Ir. Muhamad Umar
Alkatiri
Mantan Napol Kasus Peledakan BCA
Mantan Napol Kasus Peledakan BCA
Keberadaan
FPI dan tindakan anarkis yang melekat padanya adalah sebuah
keniscayaan, sesuatu yang sulit ditolak, karena ia lahir dari sebuah
sistem yang memang tidak adil.
FPI
lahir karena aparat resmi yang seharusnya menjalankan nahimunkar, tidak
bekerja sebagaimana mestinya. Malahan, mereka menjadi bagian dari
kemungkaran itu sendiri. Seperti, menjadi backing tempat pelacuran,
tempat perjudian, dan aneka kemaksiatan lainnya. Ini alasan pertama.
Alasan kedua, kualitas kemaksiatan-kemungkaran semakin
meningkat, bahkan lebih leluasa dibanding negara paling liberal
sekalipun. Indonesia, belasan tahun yang lalu cuma jadi daerah lintasan
narkoba, kini bahkan sudah menjadi pabrik terbesar ekstasi dan aneka
obat-obatan psikotropika lainnya, tidak hanya untuk kawasan Asia
Tenggara.
Di negara
liberal, tempat berlangsungnya kegiatan maksiat
dibatasi hanya pada lokasi-lokasi tertentu, dan usia pengunjung diawasi
ketat. Di Indonesia, di setiap kecamatan (bahkan kelurahan) bisa ditemui
tempat maksiat, yang bisa dikunjungi anak-anak usia sekolah setingkat
SMP. Begitu juga dengan peredaran VCD porno dan berbagai material
pornografi lainnya, dapat diperoleh dengan mudah di setiap pasar atau
pertokoan, yang bisa dengan mudah diakses anak-anak di bawah umur,
apalagi dengan harga terjangkau (hanya beberapa ribu rupiah saja).
Alasan
ketiga, media massa selalu menampilkan sosok FPI yang sedang
beraksi dengan kekerasan. Mereka sama sekali tidak pernah menyoroti
peristiwa sebelumnya. Yaitu, ketika FPI menulis surat kepada Kapolda
atau DPRD dan lain-lain agar suatu tempat maksiat
segera ditutup, tidak diberitakan. Begitu juga ketika FPI bernegosiasi
dengan pemilik tempat hiburan. Bahkan ketika laskar FPI diserang lebih
dulu, media massa tak berminat meliputnya. Barulah ketika FPI membalas,
liputan media massa begitu luas, kemudian diikuti oleh berbagai komentar
dan caci maki.
Ini
jelas tidak adil. Kondisi seperti inilah yang melahirkan ormas seperti
FPI. Setuju atau tidak, mau atau tidak mau, FPI akan lahir juga.
Artinya, FPI dilahirkan oleh sistem sosial yang diskriminatif. Kalau toh
FPI berhasil dibubarkan, maka akan lahir berbagai ‘FPI’ lainnya. FPI
dan berbagai ‘FPI’ lainnya akan hilang, bila sistem yang tidak adil juga
hilang, aparat resmi yang bertugas menjalankan nahimunkar, berfungsi
sebagaimana mestinya.
FPI
telah menjadi ‘kebutuhan’ bagi sebagian masyarakat (Islam). Tanyakan hal
ini kepada masyarakat jalan Ketapang, Jakarta Pusat. Penduduk jalan Ketapang
yang mayoritas Betawi dan Muslim ini, sering jengkel atas arogansi
preman Ambon Kristen (beberapa di antaranya Batak Kristen) yang menjadi centeng
berbagai tempat hiburan (maksiat) di sekitarnya. Pasca ‘perang terbuka’
antara puluhan laskar FPI dengan sekitar hampir tiga ratus preman
centeng itu, yang terjadi di penghujung tahun 1998, kini warga di jalan
Ketapang merasa lebih tenang dan bermartabat.
Puluhan
laskar FPI yang jumlahnya tidak seimbang dengan ratusan preman centeng
kala itu, berhasil menewaskan sekitar 15 orang preman penjaga tempat
maksiat. Dari peristiwa Ketapang ini telah menjadi pemicu terjadinya
tragedi pembantaian terhadap umat Islam di Ambon sejak Januari 1999.
Preman Ambon Kristen yang terdesak di Ketapang lari pulang kampung dan
mengobarkan perang ‘saudara’ di sana. Bersamaan dengan itu, sejak
Desember 1998, terjadi kasus Poso, yang intinya pembantaian terhadap
umat Islam juga.
Pada
kasus Poso dan
Ambon , yang
memulai tragedi adalah umat Kristen, namun jusru umat Islam-lah yang
dituding membantai umat Kristen. Media massa nasional dan internasional
memposisikan umat Islam yang mayoritas membantai umat Kristen yang
minoritas. Padahal, yang terjadi kebalikannya, yaitu anarki minoritas
terhadap mayoritas.
Dari
kondisi seperti ini, yang dibutuhkan umat Islam bukan cuma FPI tetapi
juga Laskar Jihad, Laskar MMI dan JI (Jamaah Islamiyah). Sebab,
pemerintah dan aparat penegak hukum kurang memihak kepada umat Islam.
Umat
Islam disuruh berdamai, padahal biang terjadinya konflik horizontal ini
adalah umat Kristen. Bahkan korban terbanyak dari kasus Ambon dan Poso
adalah umat Islam. Bagaimana mungkin pihak yang terzalimi diminta
menahan diri?
Belum
sembuh luka-luka umat Islam akibat pembantaian umat Kristen pada Kasus
Poso (sejak Desember 1998 ) dan Ambon (sejak januari 1999), ternyata
luka itu tergores lagi melalui sikap umat Kristen dan umat non Muslim
lainnya yang tanpa dasar yang jelas menolak RUU APP bersama-sama
dengan para fundamentalis sekuler dan kaum sepilis. Begitu juga dengan
sikap umat Kristen yang menolak Perda syariah. Ini jelas bagian dari
provokasi umat Kristen tehadap umat Islam. Namun yang disalahkan justru
umat Islam.
Boleh
jadi, kasus Bom Malam Natal 2000, adalah puncak kemarahan umat Islam
yang diwakili fundamentalis JI (Jama’ah Islamiyah), sebagai reaksi atas
terjadinya kasus Poso dan Ambon, yang intinya merupakan praktek muslim
cleansing terencana di dua daerah tersebut. Namun umat Kristen tidak
juga mawas diri, mereka terus dengan sikap pongahnya menantang umat
Islam.
Terbukti,
kini mereka ikut-ikutan menentang pembubaran Ahmadiyah. Padahal, kasus
Ahmadiyah adalah murni kasus pelanggaran akidah umat Islam, tidak ada
hubungannya dengan akidah umat Kristen dan umat non Muslim lainnya.
Kalau Indonesia mau damai,
Pertama,
jangan hanya mencari kambing hitam, menyalahkan FPI, MMI, HTI, JI, dan
sebagainya yang dituding sebagai Islam garis keras, Islam fundamentalis.
Tapi pemerintah harus bisa menampung aspirasi umat Islam. Memang umat
Islam yang mayoritas (silent majority) tidak banyak bersuara sebagaimana
minoritas nyaring yang didukung berbagai media massa. Namun boleh jadi,
mereka merasa terbela dengan adanya kalangan Islam fundamentalis.
Buktinya, polling pembubaran FPI yang dilakukan beberapa pihak antara
lain SCTV, menunjukkan hasil yang tak terduga: suara mereka yang menolak
FPI dibubarkan lebih besar dari yang setuju.
Kedua,
umat non Muslim jangan memulai tragedi berdarah seperti di Poso dan
Ambon. Namun kalau sudah berani memulai pertikian, maka harus konsekuen
menerima segala resiko yang timbul. Jangan pula menantang-nantang umat
Islam dengan kedok kebangsaan, kebebasan beragama dan berkeyakinan, seta
kebhinekaan dan pluralisme. Umat Islam sangat tahu, bahwa itu semua
hanya kedok untuk menutupi hajat memerangi Islam. Naluri memerangi Islam
yang ada di dalam diri umat non Islam harus dibuang jauh-jauh. Sebab
umat Islam tidak akan pernah takut dengan tantangan umat non Islam.
Masalahnya,
umat Islam seringkali berada dalam situasi dilematis. Didiamkan saja,
tambah ngelunjak. Kalau disikapi dengan santun, mereka tidak juga mau
berhenti menantang-nantang, bahkan terus memprovokasi. Sehingga ketika
ilalang kering sudah terbakar, maka yang terjadi adalah anarki. Kalau
sudah begini, maka media massa nasional dan internasional pun
menjadikannya bahan publikasi memojokkan Islam.
Ketiga,
media massa juga jangan menjadi sumber provokasi. Selain harus bersikap
profesional dan memenuhi etika jurnalistik, media massa juga jangan sok
tahu dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama. Kasus pemuatan foto
Munarman mencekik anggotanya sendiri, yang oleh Koran Tempo ditulis
mencekik anggota AKKBB, menunjukkan bahwa profesionalitas Koran Tempo
masih rendah. Bambang Harimurty dan Goenawan Mohamad terbukti tidak
profesional, bahkan terkesan emosional.
Provokasi
media massa seperti Koran Tempo, Majalah Tempo, Kompas, Media
Indonesia, Jawa Pos, Indo Pos, Rakyat Merdeka, Sinar Harapan, Suara
Pembaruan dan Seputar Indonesia, yang gemar memuat pemikiran-pemikiran
kalangan liberal, sebaiknya dihindari sama sekali. Sejak tahun 1970-an
Majalah Tempo, Kompas dan Sinar Harapan sudah menjajakan
pemikiran-pemikiran liberal, tentu dengan harapan akan tumbuh budaya
pemikiran Islam yang pluralis, sehingga kondusif membangun kedamaian.
Kenyataannnya, meski sudah bermilyar kata ditulis Cak Nur dan Gus Dur,
konflik horizontal tetap saja terjadi.
Karena,
akar masalahnya bukan di situ. Penyebab konflik horizontal bukan karena
adanya pemikiran ke-Islam-an yang tekstual, puritan atau
fundamentalistis, tetapi karena adanya ketidak adilan yang sudah
berlangsung sejak awal kemerdekaan. Jadi media massa jangan sok tahu
dengan diagnosanya yang keliru.
Keempat,
pemerintah juga harus tegas dan adil, bila kekerasan fisik sebagaimana
dilakukan FPI dan Laskar Islam bisa menyebabkan komandannya masuk
penjara, maka kekerasan berkedok intelektual juga harus diproses secara
hukum. Gus Dur amat sangat sering melakukan kekerasan seperti ini.
Begitu juga dengan Syafii Maarif di harian Republika. Kalau Habib Rizieq
dan Munarman diproses secara hukum, maka mereka yang namanya tercantum
di dalam petisi AKKBB sebagaimana dimuat berbagai media massa, harus
juga diproses secara hukum.
Kalau
pemerintah tetap saja membiarkan AKKBB bebas dari proses hukum, padahal
mereka menjadi penyebab konflik horizontal, ini sama saja dengan
menyuburkan potensi radikalisme, anarkisme, fundamentalisme di kalangan
masyarakat yang sudah geram.
FPI
tidak akan punah selama kondisi yang memungkinkannya eksis tetap
terjaga. Pemerintah bisa membubarkan FPI, namun ‘FPI’ lainnya akan lahir
menggantikan. Pemerintah bisa saja mengeliminasi Habib Rizieq atau
Baasyir, namun dalam waktu amat singkat akan lahir Rizieq dan Baasyir
yang baru.
Yang
harus dilakukan pemerintah adalah bersikap tegas. Bubarkan Ahmadiyah,
bubarkan JIL, dan aneka kesesatan lainnya. Juga, suruh umat non Islam
tutup mulut dan jangan ikut campur persoalan umat Islam. Selama ini
mereka terbukti selalu mencari gara-gara, menantang perang dan
memprovokasi. Mereka tidak toleran.
Dari
insiden Monas, pemerintah seharusnya menjadikan peristiwa itu sebagai
pelajaran berharga. Jangan sampai terulang lagi. Kalau yang marah hanya
FPI, masih mending, paling yang mereka bawa cuma pentungan. Coba, kalau
yang marah dari kalangan JI (Jamaah Islamiyah), berapa banyak lagi kasus
peledakan akan terjadi?
FPI
adalah organisasi tanpa badan hukum yang lahir spontan. Mereka yang ikut
mendeklarasikan FPI hampir seratus persen adalah orang-orang yang tidak
punya pengalaman berorganisasi. Bahkan ketika dideklarasikan, para
pencetusnya tidak pernah berfikir akan punya cabang di berbagai daerah.
Kenyataannya, cabang-cabang FPI tumbuh di berbagai daerah.
Ini
artinya FPI memang dibutuhkan. Kebutuhan itu dilahirkan oleh sikap
pemerintah dan aparat hukum yang berat sebelah, juga akibat sikap
kalangan Kristen yang arogan dan mau menang sendiri. Kebutuhan itu juga
dilahirkan oleh media massa yang hampir seluruhnya dimiliki
fundamentalis sekuler yang anti agama, namun sok tahu dengan agama,
dengan mempublikasikan pemikiran-pemikiran ‘progresif’ yang sesungguhnya
menawarkan kesesatan bukan kedamaian.
Salah
seorang deklarator FPI Habib Rizieq pernah mengatakan, “Kalau semua
petani menanam padi dan tak ada yang memberantas hama, maka bersiaplah
menerima panen yang gagal. Kalau semua petani memberantas hama dan tak
ada yang menanam padi maka bersiaplah tidak makan. Kedua pekerjaan itu
harus dilakukan secara harmonis. Demikian juga amar ma’ruf dan nahi
munkar, keduanya harus ada yang melakukan. Karena itu harus ada rakyat
yang bekerja untuk membangun negeri dan harus ada polisi yang menjaga
keamanan rakyat. Dan sebagai negara dengan mayoritas Islam maka di
Indonesia harus ada pula umat Islam yang menjaga keamanan agama Islam.
Untuk itulah FPI didirikan. Semoga ini menjadi pembagian tugas harmonis
yang saling menguatkan.”
Pernyataan
Rizieq bukan tanpa alasan. Aparat penegak hukum tak berbuat semestinya
ketika ada yang melecehkan Islam. Misalnya, kasus pelecehan yang
dilakukan Gus Dur, yang pernah mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan
kitab suci paling porno. Ketika itu, sekitar pertengahan Juni 2006,
gabungan ulama Madura, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten dan
DKI Jakarta bersama dengan beberapa pimpinan ormas Islam, mendatangi
Mabes Polri di Jakarta, mengadukan Gus Dur kepada Kepolisian terkait
dengan penodaan terhadap Al-Quran. Namun, Gus Dur tidak pernah
dimasukkan ke dalam sel karena pelecehannya itu, meski sejumlah ulama
sudah melaporkannya.
Masih
banyak ucapan dan perbuatan orang-orang sealiran Gus Dur yang gemar
memprovokasi dan melecehkan agama Islam. Tapi, nyaris tak terjerat
hukum. Syafii Maarif di Republika berkali-kali menulis dengan
nada menyindir dan melecehkan, bahkan Maarif pernah menggunakan istilah
preman berjubah untuk menyerang lawan ideologisnya.
Maarif juga pernah menelikung pemikiran buya HAMKA ketika ia membahas
soal tafsir buya HAMKA terhadap surat Al-Baqarah ayat 62 dan surat
Al-Maidah ayat 69 (harian Republika, rubrik Resonansi, Selasa, 21
Nopember 2006).
Ini
sangat aneh. Maarif yang mantan Ketua PP Muhamadiyah lebih condong
membela kekafiran berfikir, dan hal itu difasilitasi oleh harian Republika
yang katanya koran umat Islam. Bila Maarif dilaporkan ke polisi, ia
tidak bisa dijerat hukum. Lalu ke mana kegeraman umat Islam itu dapat
disalurkan? Barangkali, FPI telah menjadi pilihan sebagai salah satu
salurannya.
Kalau
Republika saja berani memfasilitasi tulisan-tulisan yang seperti itu,
apalagi harian Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Majalah Tempo,
Seputar Indonesia, Rakyat Merdeka, Indopos, Jawa Pos, dan sejumlah koran
lainnya yang masih satu group dengan Kompas dan Jawa Pos.
Demikian
halnya ketika aspirasi umat Islam meminta Ahmadiyah dibubarkan mereka
juga menentang.
Apa
yang menjadi pendirian media massa itu jelas sebuah provokasi. Apalagi
ditambah dengan provokasi sejumlah orang yang berpaham sepilis, seperti Syafii
Anwar (ICIP), Ahmad Suaedy (The Wahid
Institute), Guntur Romly (JIL) yang pernah mewawancarai
Gus Dur, dan menghasilkan pelecehan berupa pernyataan “Al-Qur’an
merupakan kitab suci paling porno” yang disampaikan Gus Dur, sebagaimana
pernah dipublikasikan pada situs JIL.
Ketiga
nama di atas, tercantum di dalam petisi AKKBB yang dimuat berbagai
media. Dan… Subhanallah, Allahu Akbar…, ketiganya ternyata menjadi
korban kekerasan yang dilakukan massa Laskar Islam.
Padahal, saya yakin massa Laskar
Islam (yang di dalamnya terdapat laskar FPI) sama sekali tidak tahu
siapa yang mereka pukuli itu.
Mereka
tidak kenal wajah Syafii Anwar yang membela Ahmadiyah melalui
berbagai wawancara dan tulisannya. Mereka tidak kenal wajah Ahmad
Suaedy dari The Wahid Institute yang tulisannya amat sangat membela
Ahmadiyah dan aliran sesat lainnya. Mereka juga tidak kenal Guntur
Romli aktivis JIL yang produktif menelurkan tulisan-tulisan
penyesatan. Dari ketiga nama tadi, Guntur Romli yang paling parah,
sehingga hampir seluruh wajahnya berbalut perban.
Untung
saja, Gus Dur dan Dawam Raharjo tidak hadir di Monas 01 Juni 2008 lalu.
Kalau saja mereka hadir, entahlah apa yang akan terjadi. Mungkin lebih
parah dari Guntur Romli. Logikanya, Guntur Romli saja yang tidak dikenal
massa sudah sedemikian bonyok, apalagi Gus Dur dan Dawam Raharjo?
Salah
satu tulisan Ahmad Suaedy di situs The Wahid Institute
berjudul Kasus Ahmadiyah dan
Problematika Kebangsaan di Indonesia, ia membahas (membela) Ahmadiyah dengan alasan yang tidak
ada kaitannya dengan akidah. Seolah-olah para penolak Ahmadiyah itu
adalah orang-orang yang menganut Wahhabi dan takut tersaingi oleh
Ahmadiyah. Dua alinea tulisan Suaedy sebagai berikut:
Pasang naiknya
penyerangan dan kekerasan terhadap Ahmadiyah dan juga aliran-aliran
Islam tertentu, tampaknya tidak terpisah dari perkembangan
internasional, yaitu kian eratnya hubungan kelompok-kelompok Islam
tertentu dengan negara-negara yang dominan di dalam Organisasi
Konferensi Islam (OKI). Sebagaimana diketahui umum, OKI didominasi
negara-negara kaya minyak di Timur Tengah yang memiliki kepentingan
menyebarkan Islam sesuai dengan cara pandang mereka, yang pada umumnya
Wahabi, ke seluruh dunia.
Mereka
juga berambisi untuk menjadi representasi dunia Islam dibanding wilayah
lain dan kelompok Islam lain manapun. Ahmadiyah adalah salah satu
aliran Islam yang memiliki kepemimpinan (Amir) dunia yang berkedudukan
di London. Struktur organisasi internasional yang kuat dan kepercayaan
belahan dunia kepada Ahmadiyah yang cukup meyakinkan, menjadikan
negara-negara dominan di dalam OKI kuatir. Mereka berupaya keras
menindas aliran Islam yang menjadi pesaing mereka, terutama secara
internasional.
Bukan
cuma Ahmad Suaedy yang membela Ahmadiyah dengan landasan yang tidak
jelas. Ada juga tulisan Imam
Ghazali Said dengan judul Membela
Ahmadiyah yang Dizalimi : “GAI dan JAI, setelah saya
melakukan studi terhadap kitab Tadzkirah, testimoni, interogasi, dan
dialog dengan para tokoh dan kaum awam pengikut JAI, ternyata mereka
tidak keluar dari kriteria muslim dan mukmin di atas. Karena itu, saya
konsisten mengikuti nurani dan kajian ilmiah untuk “Membela JAI” tanpa
mempertimbangkan akan dibenci kelompok muslim yang menyesatkan Ahmadiyah
atau tidak.” (Jawa Pos, Senin, 28 Apr 2008 )
Namun
sampai kini, publik tidak pernah membaca kajian ilmiah karya Imam
Ghazali Said yang dijadikan landasan membela Ahmadiyah. Apakah kajian
ilmiahnya itu reliable, valid atau tidak, kita tidak tahu. Kita
juga tidak tahu, apakah dia mempunyai kompetensi dan kualifikasi untuk
melakukan kajian ilmiah terhadap Ahmadiyah?
Kalau
kajian ilmiahnya memang benar ada, silakan disajikan ke publik,
kemudian dibandingkan dengan hasil pemantauan Bakor Pakem yang
dikeluarkan 16 April 2008 lalu. Bandingkan juga dengan hasil temuan
fakta-fakta kebohongan Ahmadiyah yang ada di LPPI. Berani?
Harian
Kompas dan sebagainya, memang sudah bisa dipastikan akan selalu
memposisikan diri menentang aspirasi umat Islam, dan cenderung membela
kekafiran sebagaimana dijajakan kaum sepilis. Jangankan Kompas,
harian Seputar Indonesia yang baru memasuki tahun ketiga saja, sudah
berani memprovokasi dengan menampilkan tulisan penganut sepilis
di hariannya itu. Antara lain, Ayu Utami yang mengisi kolom tetap
bertajuk Kodok Ngorek, di halaman 13 Seputar Indonesia Minggu.
Sebagai
contoh, kita ambil tiga tulisan Ayu
Utami di harian
Seputar Indonesia Minggu, beberapa saat sebelum ia cuti melahirkan.
Yaitu, edisi 20 April 2008, edisi 27 April 2008 dan edisi 4 Mei 2008.
Pada
edisi 20 April 2008, Ayu Utami memberi judul tulisannya dengan hal-hal
yang berbau agama, yaitu “Sekte
Poligami”. Padahal,
yang dilaporkannya adalah sebuah sekte yang menganut paham seks bebas,
dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan poligami yang dikenal umat
Islam. Yaitu, Commune Friedrichshof
yang didirikan oleh Otto Muhl di
tahun 1972 (di Austria), dan sekte Yearning
for Zion yang saat ini
sedang populer di Texas.
Mengapa
Ayu Utami yang nggak ngerti agama, dan mungkin anti agama ini,
menggunakan istilah-istilah yang berbau agama (poligami) untuk sebuah
tulisan yang isinya tidak ada kaitan dengan agama? Mengkaitkan istilah
poligami dengan seks bebas ala binatang seperti dilakoni kedua sekte
tadi, jelas sebuah pelecehan terhadap agama dan umat Islam.
Lebih
jauh, di akhir tulisannya yang melecehkan istilah poligami itu, Ayu
Utami tampak membela Ahmadiyah. Perlu diketahui, nama Ayu Utami ini
termasuk berbanjar di iklan petisi AKKBB yang dipublikasikan media
massa.
Dari
semangatnya memilih istilah poligami untuk ditubrukkan dengan sekte seks
bebas ala binatang, maka kita bisa menarik kesimpulan, Ayu Utama anti
poligami, membenci poligami, dan sebagainya.
Semangat
anti poligaminya itu juga terasa ketika ia menulis di harian yang sama,
edisi 27 April 2008, dengan judul Ibu
Kita. Isinya,
menggambarkan sikap teguh ibunda Chairil Anwar (sastrawan Angkatan 45)
yang rela memilih kehidupan yang tak pasti karena sang suami menikah
lagi.
Semakin
terasa lagi, ketika Ayu Utami menorehkan penanya untuk menyusun tulisan
berjudul Adopsi,
di harian yang sama, edisi 4 Mei
2008. Isinya sebenarnya cukup mulia, ia menawarkan alternatif, bagi
mereka yang gemar punya anak banyak, mengapa tidak ditempuh dengan jalan
adopsi.
Tapi, Ayu Utami tidak sekedar
menawarkan gagasannya yang mulia itu, ia juga mengambil contoh sambil
menyindir (bahkan terkesan melecehkan):
… Ada
pula –nah, yang ini bukan teman– yang dengan sengaja beristri banyak
dan beranak sangat banyak. Seperti Tuan F dari suatu “organisasi”, yang
tujuannya mau mengalahkan iblis dunia, Amerika Serikat. Tuan F ini,
agaknya setiap kali bersetubuh membayangkan akan menaklukkan AS. Ada
nalar juga kepada Tuan F ini (bukan dengan bintang tiga F***, melainkan
empat). Soalnya, dari urutan populasi terbanyak dunia, Indonesia nomor
4, sementara AS nomor 3.
Siapa
yang dimaksud Ayu Utami dengan Tuan F tadi? Tak lain adalah Fauzan
Al-Anshari, sedangkan “organisasi” yang dimaksudnya adalah Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI). Fauzan Al-Anshari, pria kelahiran Yogyakarta,
2 September 1966 ini memang beristri empat. Sedangkan jumlah anaknya
mencapai 20 orang lebih. Ia tinggal di Jatinegara Timur III No. 26
Jakarta Timur 13350 (Tel./Fax : 021-8517718, HP 0811 100 138).
Apa
kepentingan Ayu Utami dengan nada miring menjadikan Fauzan sebagai
ilustrasi (negatif) tulisannya yang membela ledakan penduduk? Kalau Ayu
Utami benar-benar mengerti kebebasan berekspresi, kebebasan beragama dan
berkeyakinan, mengapa pula ia harus ‘risih’ dan ‘repot’ dengan
pendirian orang lain yang beristri banyak dan beranak banyak? Apalagi,
Ayu Utami sampai menuliskan sederet kalimat yang tergolong sarkas: “…Tuan
F ini, agaknya setiap kali bersetubuh membayangkan akan menaklukkan
AS.”
Ternyata,
kebebasan berekspresi dan berpendapat yang diterapkan Ayu Utami adalah
termasuk bebas mengejek orang lain yang tidak sepaham dengannya. Dari
sini saja, kita sudah bisa simpulkan, bahwa mereka yang mengusung tema
kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, kebebasan beragama dan
berkeyakinan itu, ternyata adalah orang-orang yang tidak bisa menerima
pendirian orang lain yang berbeda dengan mereka. Mereka ingin setiap
orang sama satu selera dengan mereka. Bila tidak sama, maka orang itu
akan diolok-olok dengan berbagai istilah. Siapa yang sebenarnya tidak
toleran dan kekanak-kanakan?
Kalau
ejekan, olok-olok, dan provokasi itu dibalas dengan pukulan dan
pentungan ala FPI apakah ini adil? Jelas adil, karena kekerasan dibalas
dengan kekerasan juga. Maksudnya, kekerasan (intelektual) dibalas dengan
kekerasan (fisik).
Cobalah
sekali-kali anda buat tulisan yang mengolok-olok, mengejek dan
memprovokasi Mike Tyson dengan pena anda. Kemudian ketika Tyson marah,
berikan jawaban, “Mike, you punya hak jawab. Bikinlah tulisan yang
membantah hal itu.” Apakah Tyson akan menulis sanggahan? Belum tentu.
Yang pasti dia akan menghampiri anda dan menyarangkan pukulannya ke
wajah anda hingga bonyok. Soalnya, Mike Tyson khan nggak bisa nulis.
Tentu sangat tidak fair orang yang tidak bisa nulis –cuma bisa nonjok–
disuruh nulis. Ya khan?
Kalau
saja Mike Tyson itu adalah warga negara Indonesia, boleh jadi dia akan
bergabung ke dalam laskar FPI atau Laskar Islam pimpinan Munarman. Kalau
itu terjadi, kita harus menerima hal itu sebagai sebuah keniscayaan.
Sumber : dymas wordpress