Asep Maulana Ibrahim (35), mengembangkan bisnis siomay tersebut sejak 1998. Siapa sangka, lelaki kelahiran Ciamis, 25 November 1977 ini memulai bisnis dari bawah. Sebuah gerobak dorong yang hanya dilengkapi satu kompor menjadi saksi bisu perjuangan ayah 2 anak ini.
Asep mulai mandiri setelah menamatkan pendidikannya di MAN 1 Ciamis tahun 1991. Tahun 1994 dia mulai hijrah dari kampung halamannya Ciamis Jawa Barat ke Kota Jambi. Saat itu dia bekerja dengan pamannya yang berjualan siomay. Mungkin bagi Anda yang pernah berkunjung ke Jambi pernah menjumpai Siomay Mang Aceng. Pondok siomay itu cukup terkenal di sana.
“Tamat sekolah di Ciamis saya putuskan untuk merantau. Awalnya kerja sama paman di Jambi tahun 1994 hingga 1997. Selama tiga tahun ikut paman itu saya banyak belajar,” kenangnya.
Semua gaji dikumpulkannya, hingga akhirnya tahun 1998 dia memutuskan untuk pindah ke Bengkulu, merintis usaha di Bumi Rafflesia ini. Bermodal Rp 5 juta di nekat membuka usaha berjualan siomay. “Saat itu belum banyak yang jual siomay. Niat saya ingin mandiri, jadi apa pun rintangannya saya hadapi. Modal keberanian saja, karena di Bengkulu tidak ada saudara,” ujar Asep.
Saat itu dia menargetkan waktu selama 2 tahun di Bengkulu, kalau tidak berkembang dia pun berancang-ancang akan pindah ke Riau. Namun, setelah 2 tahun dijalani usaha yang dimulai dari nol itu menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan.
“Dulu jualan pakai derobak depan Dehasen. Saya juga masih ngontrak di Jl Jati Sawah Lebar selama 2 tahun. Sempat ngontrak juga depan Dehasen. Ternyata dalam dua tahun ada kemajuan,” katanya.
Tahun 2001 dia mulai membuka cabang di kantin Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu (Unib), kantin SMKN 1 Kota Bengkulu, kantin SMAN 5 Kota Bengkulu. Lalu berkembang lagi dengan dibukanya cabang baru di Pintu Batu tepatnya seberang Unihaz. Tahun 2004 buka di kantin SMAN 2 Kota Bengkulu, SMAN 6 Kota Bengkulu dan SMAN 1 Kota Bengkulu.
Hanya saja, dalam berbisnis tentu saja ada pasang surutnya. Banyaknya cabang baru yang dibuka ternyata tak semuanya bisa berjalan mulus. Tahun 2008 satu per satu cabang usahanya mulai ditutup, seperti cabang Pintu Batu yang tak lagi beroperasi. Termasuk cabang yang ada di beberapa kantin sekolah. “Kantin yang masih buka sekarang di SMAN 5 dan SMAN 2,” katanya.
Banyaknya cabang yang dibuka membuat Asep kurang fokus menjalankan usahanya. Sehingga kini dia hanya fokus mengelola usaha yang dibukanya di Jl WR Supratman Unib Belakang. Sementara meski memakai brand yang sama yakni Asep Thea, usaha yang dibuka di Jl Meranti tak jauh dari kampus Dehasen dan Jl Jati Sawah Lebar dekat Toko Bima 2000 di kelola oleh adik-adiknya. “Sekarang saya hanya fokus satu tempat,” imbuhnya.
Asep menjelaskan, tahun 2005 dia memutuskan untuk pindah ke kawasan Unib. Saat itu lahan yang ditempatinya sekarang dibelinya dengan kapasitas 2 ruko tersebut dibelinya seharga Rp 25 juta. “Tanah itu saya beli tahun 2002. Tahun 2005 dibangun, menghabiskan dana Rp 150 jutaan,” ujarnya.
Kini jika ditotal aset yang dimilikinya mencapai lebih Rp 1 miliar. Ruko yang tadinya belum bertingkat kini sudah bertambah satu tingkat. Dua tahun lalu penambahan satu tingkat bangunan tersebut menghabiskan dana Rp 300 juta. “Saya bersyukur dengan apa yang sudah dicapai sekarang. Setidaknya kami sudah tak harus memikirkan biaya sewa tempat yang kini semakin mahal,” ungkap Asep.
Belajar dari Pengalaman
Suami dari Siti Dedeh Halimatussya’diah (28) ini memang dikanal pantang menyerah. Meski tinggal di perantauan tak menyurutkan langkahnya untuk menapaki masa depan yang cerah. Bahkan kini buah manis kerja keras sudah dirasakan. Usaha bermodal Rp 5 juta itu kini sudah menghasilkan omzet mencapai Rp 4 juta per hari. Hampir menyamai modal awal yang dikeluarkannya untuk menjalankan usaha.
“Waktu awal-awal buka omzet bisa mencapai lebih dari Rp 4 juta per hari. Tapi kini yang buka usaha siomay juga makin banyak,” katanya.
Bagi Asep, orangtuanya Ili Sumarli (alm) dan Cicih Sukaesih menjadi motivator yang paling memacu semangatnya. Pengalaman orangtuanya menjadi pelajaran yang sangat berharga. “Orangtua perantau juga di Kalimantan. Buka usaha di sana Cuma gulung tikar. Itu yang memotivasi saya untuk lebih maju,” ungkapnya.
Asep tak ingin gegabah. Kekurangan usaha yang dijalani orangtuanya menjadi pelajaran. “Pengalaman merupakan guru yang paling berharga. Saya banyak belajar dari pengalaman. Terutama pengalaman orangtua saya. Mereka yang paling memotivasi,” ujar Asep. (rei)
Strategi Bangun Brand
NAMA Asep Thea memang terdengar gampang diucapkan. Lidah Bengkulu sekalipun bisa melafalkannya dengan tepat. Padahal Thea merupakan bahasa Sunda. Asep Thea merupakan brand yang diusung Asep Maulana Ibrahim dalam usaha kuliner yang ditekuninya.Tak hanya pelafalannya saja yang mudah diucapkan, artinya pun cukup simpel. Brand itu sudah dipakai Asep sejak tahun 2003. “Asep Thea itu artinya ohh Asep ini. Menggambarkan orang yang dulu sudah kenal tapi lupa, jadi mengingatkan kembali. Saya memang memilih kata yang mudah diingat,” jelas Asep.
Dikatakan Asep, awalnya dia menamai gerobak siomaynya, Siomay dan Batagor Panineungan yang artinya selalu ingat. Nama itu sempat dipakai selama 2 tahun. Hanya saja lantaran agak susah diucapkan, akhirnya diganti menjadi Asep Thea. “Panineungan susah diucapkan. Terlalu Sunda dan kurang pas di lidah Bengkulu,” katanya.
Menurut Asep, membangun brand sangat penting dalam menjalankan usaha. Sehingga pemilihan nama yang tepat juga harus dipikirkan. “Membangun brand memang diperlukan strategi, selain kualitas menu yang ditawarkan. Sehingga menciptakan nama yang mudah diingat, mudah diucapkan itu diperlukan,” ungkapnya.
Menjaga cita rasa menjadi kekuatan dalam bisnis kuliner. Selain kualitas pelayanan. Sehingga mulai tahun 2007 dia pun mulai memikirkan untuk menambah menu. “Tambahan menu itu juga atas permintaan konsumen. Sehingga kini selain menu andalan siomay dan batagor, juga ditambah menu lain seperti nasi goreng, nasi soto, tumis kangkung, aneka mie dan jus serta kopi,” katanya.
Doa, keyakinan dan usaha menjadi kekuatan bisnis yang dijalaninya. “Kuncinya itu. Walaupun kita berusaha sekuat tenaga tanpa diiringi doa juga tidak akan maksimal. Berdoa saja tanpa usaha juga sia-sia. Kita harus yakin tuhan meridhoi usaha yang kita jalankan,” ujar Asep.
Brand yang mudah diingat tentu juga harus diimbangi dengan kualitas rasa dan harga yang bersahabat. Asep cukup paham akan hal itu. Dia pun berani memaang harga jauh di harga pasar. Untuk makanan saja mulai dari Rp 6 ribu untuk mie, Rp 7 ribu siomay dan batagor hingga Rp 12 ribu untuk paket ayam bakar. Sedangkan minuman Rp 3 ribu hingga Rp 7 ribu. “Harga standar mahasiswa, dibawah tempat umum. Biar untung sedikit yang penting lancar,” imbuhnya.
Menurutnya, bisnis kuliner di Bengkulu memiliki prospek yang bagus. Harga jual lebih tinggi dibanding di Pulau Jawa. “Lumayan menjanjikan, yang penting fokus. Terlebih di Bengkulu harga jual juga masih tinggi. Itu nilai lebih bisnis di sini,” ungkapnya. (rei)
Belajar Otodidak
BASIC pendidikan agama, terjun ke dunia bisnis. Tentu dua hal yang saling bertolak belakang. Namun itu bukan menjadi halangan bagi Asep Maulana Ibrahim dalam menjalankan usaha. Basic pendidikan agama justru menjadi kekuatan plus bisnis yang dirintisnya.Asep kecil menghabiskan masa kanak-kana hingga remajanya di Ciamis Jawa Barat. Tahun 1985 dia lulus dari SDN 2 Ciamis dan melanjutkan pendidikan di MTsN Ciamis hingga lulus tahun 1988. Sekolah agama pun masih menjadi pilihannya, pendidikan atas dia memilih MAN Ciamis dan lulus tahun 1991. “SMA sekali tidak ada basis dalam berbisnis. Sangat jauh dari pemahaman konsep bisnis, semua saya pelajari otodidak,” katanya.
Dimana ada kemauan, disitu ada jalan. Papatah bijak itu sepertinya berlaku bagi Asep. Basic pendidikan agama ditambah kemauannya untuk belajar memahami bisnis mengantarkannya pada gerbang kesuksesan. “Awal-awal nggak ada pengetahuan mengatur keuangan, sempat kelabakan juga. Dapat uang, belanja, tidak dibukukan,” ujarnya.
Untunglah sang adik yang kuliah di jurusan ekonomi banyak memberikan pelajaran. Keinginannya juga cukup kuat untuk belajar. “Pembukuan itu penting, jadi tak ada kata terlambat belajar. Walaupun tidak kuliah secara khusus di jurusan bisnis tapi bukan berarti tak ada kesempatan belajar. Pengeluaran, pendapatan itu harus dihitung. Alhamdulillah, sekarang sudah ada pembukuan,” ungkapnya.
Bisnis yang dijalaninya merupakan team work yang berasal dari keluarga. Asep bertindak sebagai owner, istri mengatur masalah keuangan, termasuk urusan memasak. Karyawan juga dibantu kakak iparnya. “Saat pertama kali mulai usaha saya sendiri, sekarang sudah ada 8 karyawan,” katanya. (rei)
Pentingnya Penetapan Target Pasar
PEBISNIS terkadang menganggap kualitas dan ciri khas produk sebagai hal utama yang harus diperhatikan dalam sebuah bisnis. Padahal dua hal itu tak sepenuhnya bisa menjamin kesuksesan bisnis yang dijalankan. Penetapan target pasar sebetulnya sangat penting sebelum memulai usaha.Penetapan target pasar dalam bisnis menjadi penting lantaran akan berkaitan dengan aspek-aspek lain dalam bisnis yang dijalani. “Kualitas produk dan ciri khas memang berperan penting dalam menarik konsumen. Tapi target pasar juga harus dipikirkan,” katanya.
Tak heran jika kemudian Asep memilih lokasi kawasan Unib, lantaran target pasarnya memang kalangan mahasiswa. Target pasar ditetapkan, harga pun menyesuaikan. Termasuk pilihan menu yang ditawarkan, semua menyesuaikan dengan selera mahasiswa.
“Ide memang penting, tapi harus dipikirkan siapa yang akan membeli nantinya. Kualitas dagangan bagus tapi pasar tidak ada jadinya juga sia-sia. Mahasiswa merupakan target pasar yang cukup potensial untuk bisnis kuliner,” ungkapnya.
Setelah target pasar ditetapkan, Asep pun dapat merancang strategi selanjutnya. Mulai dari standar harga, desain interior tempat usaha yang berselera muda dan trendy, serta jam buka. “Kami buka mulai pukul 07.00 WIB hingga 21.00 WIB, kadang sampai pukul 22.00 WIB,” pungkasnya. (rei)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar