Sepasang pohon jambu kesenangan. Barangkali itu
nama yang akan kuberikan pada dua pohon yang ada di belakang rumah saat
masa kecil dulu. Sebab saat memanjat pohonnya, rasanya hatiku senang.
Sambil menikmati beberapa buah jambu aku bisa memandangi orang-orang
yang lewat dari bawah pohon .
Satu pohon jambu air dan satunya pohon jambu biji.
Halaman belakang rumahku tak terlalu luas dan tidak tertata rapi, tapi
paling tidak, bersih dari sampah-sampah. Dua bekas kolam ikan saat itu
tinggal kenangan, telah kering dengan bekas lumut yang mengering dan
bahan semennya retak-retak. Entah mengapa, dua bekas kolam ikan rasanya
membuat halaman itu buruk. Untungnya ada sepasang pohon jambu
kesayangan, satu di bagian kanan dan satu lagi di kiri.
Aku tahu banyak anak-anak tetangga yang tergiur
melihat pohon jambu kami saat berbuah. Jambu airnya tidak terlalu merah
tapi rasanya manis dan dagingnya empuk. Sementara buah jambu bijinya
sangat menarik jika warnanya mulai menguning dan mulai bercampur dengan
warna hijau, rasanya manis pula. Jambu biji dengan warna hijau
kekuningan, setengah matang dan rasanya manis adalah pilihan paling top
untuk disantap, jangan tunggu hingga berwarna kuning seluruhnya.
Hampir setiap hari aku mengunjungi sepasang pohon
jambu kesenangan. Ketika aku dan teman-temanku tidak bermain, maka
halaman belakang rumah adalah tujuan. Saat kakak-kakakku tidur siang
atau pergi les, aku memilih memanjat pohon jambu. Memang, anak-anak
seusiaku paling tidak suka disuruh tidur siang. Saat itu usiaku antara
sembilan sampai sepuluh tahun.
Pohon jambu biji lebih sering kupanjat dibandingkan
jambu air. Ranting-rantingnya lebih kokoh dan lebih banyak
cabang-cabang lebar untuk bertengger. Rasanya lucu kalau kuingat lagi
sekarang. Seorang anak perempuan yang suka memanjat dan kadang-kadang
memakai rok. Jangan-jangan dulu ada yang menyebutku monyet betina kecil
yang pakai rok. Ha..ha..barangkali saja. Aku ingat dulu yang paling
sering aku pakai adalah rok balon berwana hijau muda. Rok itu
benar-benar matching dengan warna dedaunan jambu.
Lima belas, dua puluh, bahkan mungkin tiga puluh
menit kuhabiskan waktu bertengger di atas pohon jambu. Sisi favoritku
adalah cabang besar yang dekat dengan tembok rumah yang membatasi
halaman dengan jalan di luar. Sebenarnya bisa dikatakan setelah gigitan
pertama atau kedua, aku mulai bosan dengan rasa jambu biji itu. Tapi
kenikmatannya justru saat nongkrong di atas, melihat ada buah yang mulai
menguning, berusaha meraihnya dengan mudah maupun susah payah dan
hap…akhirnya bisa kuraih. Puas rasanya, saat jambu yang moncongnya
meruncing, berwarna hijau kekuningan dan mengkilap karena
terlindung dari sinar matahari kini ada dalam genggamanku. Jambu-jambu
yang kupetik kutaruh di dalam kantong rok dan beberapa kusantap sambil
memperhatikan orang-orang yang lewat. Kuperhatikan saat beberapa anak
SMP dan SMA pulang sore hari, bidan tetangga belakang rumah pulang dari
Rumah Sakit Umum dan sesekali menyapa teman sebayaku yang keluar setelah
tidur siang. Satu lagi yang paling kusukai adalah saat angin
sepoi-sepoi berhembus. Rasanya aku ingin tinggal selamanya di pohon itu,
tapi kalau anginnya kencang ada rasa takut bakal jatuh.
Kadang-kadang hasil jambu petikan kubawa turun, dan
kuletakkan di meja makan. Tapi sering tak seorang pun
yang tertarik dengan jambu-jambu itu. Bahkan kadang dibiarkan begitu
saja hingga akhirnya dibuang esok harinya. Selera anak-anak memang
berbeda dengang selera orang dewasa. Itulah kesimpulanku sekarang.
Pernah saat musim jambu, beberapa anak tetangga
yang terkenal nakal melempari pohon jambu. Batu-batu tak jarang meleset
dan justru sering mengenai atap dan dinding rumah. Solusinya, kakakku
mengizinkan mereka masuk pagar dan memanjat pohon jambu. Segerombolan
anak-anak rame-rame masuk, sebagian naik sebagian lagi di bawah
menangkap jambu petikan. Saat itu aku rasanya sebal sekali karena
anak-anak itu berisik bahkan ada yang berkelahi karena berebut jambu.
Seakan-akan mereka berkuasa atas sepasang jambu kesayanganku. Kalau tak
salah ingat, hasil petikan mereka sampai beberapa kantung plastik.
Setelah puas, anak-anak itu mengucapkan terimakasih sambil berlarian.
Kata mamaku, punya pohon buah itu memang serba
salah apalagi banyak anak-anak di sekitar lingkungan rumah. Di satu sisi
menguntungkan bagi pemiliknya saat musim berbuah tapi di sisi lain bisa
mengusik ketenangan karena akan banyak anak-anak yang mengincar. Dalam
hati aku berkata berarti anak-anak tetangga pasti merasa iri terhadapku
sebab aku bebas memetik buah jambu kapan saja apalagi jambu biji yang
tidak mengenal musim.
Persisnya tak pernah kuingat apakah aku pernah
dilarang memanjat atau tidak. Aktivitas itu menjadi bagian keseharian
yang tidak bisa kulupakan. Mungkin mama dan kakakku hanya pernah
mengingatkan agar aku berhati-hati memperhatikan mana cabang yang rapuh
dan mana yang tidak. Tapi saat berayun di atas dahan, mana mungkin
nasihat itu diingat lagi, yang ada hanya kesenangan bertengger, memetik
dan merasakan tiupan angin sepoi-sepoi yang membuai kelopak mata hingga
rasanya ingin tidur di atas dahan itu.
Memanjat pohon jambu tak pernah menjadi memori yang
buruk, tak sekalipun aku jatuh dari pohoh bahkan tak pernah hampir
jatuh. Kadang-kadang aku bangga dengan keahlianku memanjat. Saat harus
mengumpulkan keberanian pertama kali mencari bekas-bekas cabang yang
kuat untuk naik ke cabang yang lebih tinggi. Menginjak remaja, pernah
aku menanyakan teman-teman perempuanku apakah mereka pernah memanjat
saat kecil. Ternyata hanya sebagian kecil yang bisa memanjat. Bahkan
terakhir ku ketahui bahwa kakak-kakak perempuanku pun tak bisa memanjat
pohon. Mungkin aku berbeda karena aku anak bontot dan dianggap lebih
nakal dibanding kakak-kakakku.
Memori pohon jambu berakhir saat aku harus pindah
ke luar kota. Kota baru dan rumah baru, bukan hal yang baru lagi sebab
papaku sering berpindah tugas. Di rumah baru, tak ada satu pun pohon
jambu di halamannya yang luas. Hanya ada beberapa pohon mangga di
samping rumah. Masa itu, sepertinya gairahku memanjat pohon mulai surut.
Alasannya aku sudah bertambah besar, pohon-pohon mangga tak memiliki
banyak dahan melebar dan tak ketinggalan semutnya banyak.
Saat musim mangga, kami bisa memetik buahnya hingga
sekarung lebih dan kami bagikan kepada tetangga. Memori jambu kini
berganti memori mangga. Tapi pohon jambu tetap mendapat
tempat istimewa dalam kenanganku. Kadang-kadang aku bertanya dalam hati,
apakah pohon-pohon jambu itu masih ada sekarang. Sepasang pohon
kesenangan, namaku untuk mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar